Popular Posts

Sunday, September 9, 2012

KAJIAN HADITS METODE TAHLILI TENTANG BERWUDHU' SESUDAH BANGUN DARI TIDUR


Edisi revisi.

KAJIAN TEKS HADIS

Berwudhu’ Sesudah Tidur












OLEH.
Asriwan
JURUSAN TAFSIR HADIS PROGRAM KHUSUS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2011-2012


Berwudhu’ Sesudah Bangun Tidur

1.      Teks Hadits dan Artinya.
وعن عائشة رضي الله عنها : أنَّ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ : (( إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّومُ ، فإِنَّ أحدكم إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لا يَدْرِي لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ )) مُتَّفَقٌ عَلَيه[1].
Dari ‘A<isyah RA, bahwasahnya Rasulullah saw. Bersabda: “apabila salah seorang diantara kalian mengantuk sementara ia sedang shalat, hendaklah ia pergi tidur hingga hilang rasa kantuknya. Karena salah seorang dari kalian, apabila shalat dalam keadaan mengantuk, ia tidak sadar barangkali hendak minta ampun tetapi malah memaki dirinya sendiri.” [2]
2.    Syarah Mufradat.
·         إِذَا     
Iz|a>  dalam bahasa Arab merupakan huruf z}arf lilmustaqbal[3] yang al-Syart.}[4] Dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai huruf causative atau sebab akibat. Iz|a> adalah h}arf al-Syart} yang berarti jika[5] (pengandaian) dan biasanya diikuti dengan jawab al-syart} berupa fa>’. Adapun yang semura>dif  dengan iz|a>  yaitu لَوْ  dan إِنْ. Dari ketiganya  sama-sama bermakna pengandaian. Tapi, mempunyai perbedaan yang sangat signipikan. Huruf iz|a>  adalah pengandaian yang pasti terjadi. Kata yang kedua adalah lau juga mengandung pengandaian atau kata “jika”. Adapun perbedaan dengan iz|a>  adalah lau berandai-andai tetapi tidak masuk akal atau mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi dengan kata lain tamanni>. Yang terahir ialah huruf In yang berarti bisa terjadi atau tidak sama sekali.
·         نَعَسَ
Na’asa dibaca dengan men-fat-hah-kan ‘ain, maka keliru orang yang membaca dengan men-dhammah-kannya.[6] Kata ini berarti kantuk[7] yang kata dasarnya terdiri dari huruf n-‘a-s} yang menunjukkan kepada keadaan mengantuknya.[8]
·         أَحَدُكُمْ
Kata ah}ada disini merupakan cabang akar kata waha}da yang artinya apa-apa yang menyendiri atau bisa diartikan satu.[9] Dikenal pula kata wa>hid yang berarti satu. Dua kata tersebut berbeda meskipun sama-sama berarti satu. Kata wa>hid yang berarti satu dan memungkinkan adanya dua, tiga, dan seterusnya, sedangkan kata ah}ad tidak. Selain itu kata wa>h}id bisa dimasuki.[10]
·         يُصَلِّي
Kata ini adalah fi’il mudha>ri> dari fi’il al-Mad}i>-nya yaitu Shalla>  yang sudah mempunyai satu tambahan huruf yaitu la>m. Pada dasarnya kata ini terdiri dari huruf s}a>d, la>m, dan ya>’  berarti al-na>ru wa ma> asybahuha> min al-H}uma>  yaitu panas dan yang serupa dengan demam, juga diartikan jins min al-‘Iba>dah yaitu salah satu bagian dari ibadah[11]. Adapun artinya dalam Lisa>n al-‘Arab  adalah al-Du‘a>’ wa al-Istigfa>r yaitu do’a dan istigfar atau permohonan ampun, juga diartikan al-Rah}mah yaitu rahamat dari Allah, al-S}ala>wah yaitu s}alawat[12]. Pengertian lain dari kata tersebut ialah شوي  [13]( memanggang atau membakar) dan سخّن [14](memanaskan). Arti sebenarnya yang dikehendaki dalam hadis ini adalah الصلاة  yaitu salat, sembahyang[15] atau meminpin salat.
·         فَلْيَرْقُدْ
Kata ini berasal dari kata dasar ra-qa-da berarti na>ma yaitu tidur, kata ini juga mempunyai banyak ari lain yaitu: berbaring[16], tergeletak, mereda, dan mengerami.[17] Namun didalam hadits ini, kata ini diartikan dengan tidur. Al-Muhallab mengarahkan pengertiannya kepada makna dzahirnya, dengan mengatakan : “Rasulullah saw. Menyuruhnya memutus shalat karena sudah dikalahkan oleh rasa ingin tidurnya.
·         يَدْرِي
Kata ini mempunyai kata dasar dara> yang mempunyai arti “Mengetahui”[18] sedangkan didalam kitab Maqa>yis al-Lughah kata ini mempunyai makna yaitu:  menyengaja melakukan sesuatu dan bersungguh mengerjakannya.
·         يَسْتَغْفِرُ
Kata ini berasal dari kata g{ha-fa-ra yang berarti memaafkan.[19] Namun dalam hadits ini diucapkan dalam bentuk fi’il s|ulas|I mazi>d yang mengandung makna meminta maaf atau memohon ampunan.
·         فَيَسُبُّ
Kata ini didalam hadits mempunyai arti “tetapi malah memaki .” dibaca secara manshu>b dan bisa juga dibaca secara marfu>’. Makna yasubbu adalah mendoakan keburukan atas diri sendiri.[20] Sedangkan kata subbu itu sendiri berarti penghinaan.[21]
3.    Syarah kalimat dan pendapat ulama
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي
“Apabila salah seorang diantara kalian mengantuk sementara ia sedang shalat”
Zhahir perkataan al-Bukha>ri menunjukkan bahwa mengantuk juga disebut tidur. Sedangkan pendapat yang masyhur membedakan kedua keadaan tersebut. Orang yang inderanya masih terjaga, yakni ia masih dapat mendengar ucapan teman duduknya meskipun tidak lagi memahami maknanya, disebut sebagai orang yang mengantuk. Jika kondisinya lebih dari itu, maka ia disebut orang yang tidur. Di antara tanda-tanda tidur adalah mimpi,baik berlangsung lama maupun sebentar. Namun ada yang mengatakan bahwa keduanya mempunyai makna yang berdekatan.         Lalu dari defenisi mengantuk yang disejajarkan dengan tidur, keluarlah hokum lainnya, yaitu bahwa orang yang mengatakan tidur itu merupakan hadats dengan sendirinya berarti telah mewajibkan wudhu’ karena mengantuk. Muslim telah meriwayatkan dalam shah{ih-nya berkenaan kisah shalat ibnu ‘Abba>s bersama Nabi saw. Pada malam hari, beliau berkata: “Maka apabila aku mulai mengantuk, beliau memegang telingaku.” Ini membuktikan bahwa tidak wajib berwudhu’ atas orang yang tidaktertidur pulas.
فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوم
hendaklah ia pergi tidur hingga hilang rasa kantuknya”
Dalam riwayat an-Nasa<i dari jalur Ayyub, dari Hisya<m, tercantum dengan lafadz: fal-yansharif  yang berarti hendaklah ia berpaling. Maksudnya adalah mengucapkan salam untuk menyudahi shalat. Al-Muhallab mengarahkan pengertiannya kepada makna dzahirnya, dengan mengatakan : “Rasulullah saw. Menyuruhnya memutus shalat karena sudah dikalahkan oleh rasa ingin tidurnya. Ini menunjukkan bahwa jika rasa kantuk kurang dari itu, maka ia termaafkan.”[22]
Beliau melnjutkan: “Para ulama sepakat bahwa tidur yang kadarnya sedikit tidak membatalkan wudhu’. Namun, al-Muza<ni menyelisihi pendapat ini dengan mengatakan: “Baik tidur dengan kadar sedikit maupun banyak, dua-duanya tetap mambatalkan wudhu’.” Dengan begitu, melabrak ijma<’ tersebut.
Demikian yang dikatakan oleh al-Muhallab. Lalu pendapatnya ini diikuti oleh ibnu Battha<l,ibnu at-Ti<n, dan ulama yang lainnya. Kemudian mereka menyanggah al-Muzani atas klaimnya tadi.           
Ibnu al­-Mundzir dan yang lainnya telah menukil dari sebagian Sahabat dan tabi’in suatu pendapat yang menyatakan bahwa tidur merupakan hadats yang membatalkan wudhu’, baik dalam kadar sedikit maupun banyak. Ini juga merupakan pendapat Abu ‘Ubaid dan Ishaq bin Rahawaihi.
Ibnu al-Mundzir berkata: “Inilah pendapat yang aku pilih berdasarkan makana umum hadits shafwan bin ‘Assal, yang dishahih kan oleh ibnu Khuzaimah dan ulama lainnya; didalamnya disebutkan:”kecuali karena buang air besar, buang air kecil, atau tidur.” Penjeasan ini menunjukkan kesamaan tiga perkara tersebut didalam hukum.
Yang dimaksud tidur dengan kadar sedikit dan kadar banyak adalah terkait dengan lama dan singkatnya waktu tidur tersebut, bukan kondisi yang tampak darinya. Orang-orang yang berendapat bahwa tidur berpotengsi menyebabkan keluarnya hadats berbeda pendapat dalam beberapa pandangan; sebagaimana terlihat pada beberapa pendapat berikut.[23]
·         Mereka membedakan antara tidur dengan berbaring dan tidur selain dalam posisi berbaring. Ini merupakan pendapat ats-Tsuari>.
·         Mereka membedakan antara tidur bersandar dan tidur berbaring, juga posisi tidur yang lainnya. Ini merupakan pendapat ahli ra’yu.
·         Mereka membedakan antara kedua kondisi sebelumnya ( tidur berbaring dan bersandar ) dengan kondisi sewaktu  sujud; dengan catatan ia bermaksud untuk tidur,dengan kondisi-kondisi lainnya. Ini adalah pendapat abu Yusuf.
Ada yang berpendapat, tidur dalam posisi selain duduk (selain berbaring) tidak membatalkan wudhu’ secara mutlaq. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dalam qaul al-qadi<mnya.
Diriwayatkan juga dari Imam asy-Syafi’i<, bahwa beliau merinci antara kondisi di luar shalat dan di dalam shalat. Kondisi diluar shalat bias membatalkan wudhu’ sedangkan di dalam shalat tidak membatalkan wudhu’,.
Menurut pendapat asy-Syafi’i< dalam qaul al-jadid-nya, dirincikan antara duduk dengan posisi sempurna yang dianggap tidak membatalkan wudhu’ dan duduk dengan posisi tidak sempurna yang dianngap dapat memebatalkan wudhu’. Dalam kitab al-Muhadzdzab disebutkan bahwa jika seseorang merasa tertidur dalam keadaan duduk, sedangkan tempat hadats (dubur) terhalangi dengan lantai, maka menururt pendapat beliau, wudhu’ orang itu tidak batal. Sementara dalam riwayat Buwaithi,Imam asy-Syafi’i< mengatakan bahwa wudhu’nya batal. Itulah pendapat yang dipilih oleh al-Muzani. Namun pendapat ini dikritik,bahwa lafadz dalam kitab al-Buwaithi tidak secara jelas menunjukkan hal tersebut. Sebab, ia hanya mengatakan: “Barang siapa tertidur dalam posisi duduk atau berdiri lalu ia bermimpi, maka ia wajib berwudhu’.” An-Nawawi<  mengatakan: “Persoalan ini masih bias ditakwi<l  lagi.”
فإِنَّ أحدكم إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ
“Karena salah seorang dari kalian, apabila shalat dalam keadaan mengantuk”
Al-Muhallab mengatakan: “Penggalan hadits ini mengisyaratkan kepada ‘illat (alasan[24]) yang mengharuskan seseorang memutus shalat. Orang yang seperti itu keadaannya jelas telah batal whudu’nya berdasarkan ijma<’.” Begitu yang ia katakan! Namun, perkataannya itu perlu ditinjau kembali. Karena, isyarat tersebut hanya diarahkan kepada bolehnya memutus shalat atau berpaling jika orang itu telah mengucapkan salam untuk menyudahinya. Adapun masalah batal tidaknya wudhu’,tidak begitu jelas disebutkan dalam hadits. Karena, terucapnya sesuatu oleh lisan (mengigau) bias saja terjadi bagi orang yang mengantukpadahal dialah yang berpendapat bahwa tidur dengan kadar sedikit tidak membatalkan wudhu’. Apalagi tentunya dengan mengantuk.
Adapun ijma<’ yang diklaimnya telah dipatahkan. Sebab telah diriwayatkan secara shahih dari abu Musa al-Asy’ari<,ibnu ‘Umar dan Sa’id bin al-Musayyib bahwa tidur tidak membatalkan whudu’ secara mutlaq. Sedangkan yang terdapat dalam Shahih Muslim dan Sunan abu Dawud, disebutkan bahwa “Sahabat-sahabat Nabi pernah pernah menunggu waktu shalat bersama Nabi saw. Lalu mereka tertidur, kemudian shalat tanpa mengulangi wudhu’,” maka pengertianya diarahkan kepada kondisi saat hal itu memang terjadi, yaitu saat itu posisi mereka sedang duduk . akan teapi, dalm Musnad al-Bazza<r, dengan sanad shahih tentang hadits ini juga, disebutkan “Lalu mereka merebahkan tubuh, dan diantara mereka ada yang tertidur, kemudian mereka bangkit mengerjakan shalat.

 لا يَدْرِي لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَه    
ia tidak sadar barangkali hendak minta ampun tetapi malah memaki dirinya sendiri.”
An-Nasa>-i menegaskan maksud penggalan hadits ini dalam riwayatnya dari jalur Ayyub, dari Hisya>m. Dan kemungkinan ‘illat larangan ini adalah kekhawatiran doanya itu bertepatan dengan waktu mustajab; demikian oleh ibnu abi> Jamrah.[25]
4.    Sababul wuru<d Hadi>ts
Hadits ini memiliki asba<bul wuru<d. Yaitu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr  dari jalur Ibnu Ishaq, dari Hisya<m, tentang kisah al-Haula’ binti Tuwait; seperti yang disebutkan dalam bab  “Amalan agama yang paling disukai Allah adalah yang berkelanjutan[26].
5.    Hikmah yang dapat dipetik dari hadits
·         Anjuran agar mengambil sikap hati-hati, karena hokum tersebut dikaitkan dengan sebuah kemungkinan.
·         Anjuran agar khusyu’ dan berkonsentrasi penuh ketika beribadah serta menjauhi perkara-perkara makruh dalam melakukan ketaatan.
·         Bolehnya berdoa dalam shalat tanpa mengaitkan dengan sesuatu hal tertentu.
Daftar Pustaka

Abduh, Daud Athiyah. Kamus al-Mufradat, Edisi VII, Klaten; Wafa Press,2008 .  
Al-‘Askari>, Abu> Hila>l. al-Furu>q al-Lug}awiyah, juz I.
Al-Bukha>ri>,Abu Abdillah,Muhammad bin Ismail. Al-Jami’ Al-Shah{ih, juz I, Beirut; Da>r ibnu Kas|i>r,1987.
‘Ali bin Hajar al-‘Asqala>ni>, Ahmad bin.  Fath}ul al-Ba>ri> bi Syarhu S}ah}i> al-Bukha>ri>, Juz 1, Beirut: Da>r al-Ma ‘rifatu, t.th.
Bisri, Adib dan Munawwir AF. Kamus al-Bisri. Cet. I; Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
Farh}a>t, Yusuf Syukriy. Mu’jam al-T}ulla>b. Beirut : Da>r al-Fikr al-‘Ilmiyah, t.th.
Ibnu Zakariyya>, Abu> al-H}usain Ah}mad bin Fa>ris. Maqa>yis al-Lug}ah, juz I dan juz V. t.t: Ittih}a>d al-Kita>b al-‘Arab, 2002.
Khalid, Abu. Kamus Arab AL-HUDA, Surabaya, FAJAR MULIA, 1997.
Marjuni, Kamaluddin Nurdin. Kamus Syawarifiyyah, Jakarta; Ciputat Press, 2009.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Edisi II, Surabaya:  Pustaka Progressif, 1997.
Munjid Fi> al-Lugah. Beirut: Da>r al-Masyriq, 1984.
Yahya bin Syaraf an-Nawawi>, Abu’ Zakariya. Riyad}u al-S}a>lih}i>n. Terj. Abdu Rosyad Shiddiq, RIYA>DHU SHA>LIHI>N: Menggapai Surga dengan Rahmat Allah,  Cet. 5; Jakarta Timur: AKBAR MEDIA, 2011
Zuhdi Muhdlor, Atabik Ali Ahmad. KAMUS KONTEMPORER ARAB-INDONESIA, Cet.9, Yogyakarta; Multi Karya Grafika, 1996.



[1] Muhammad bin ismail abu abdillah al-Bukha>ri> al-Ja’fi>, al-Jami’ al-Shah{ih, Juz I, (Cet I,Beirut; Da>r ibnu Kas|ir, 1987 ), h. 87.
[2] Abu’ Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi>, Riyad}u al-S}a>lih}i>n. Terj. Abdu Rosyad Shiddiq, RIYA>DHU SHA>LIHI>N: Menggapai Surga dengan Rahmat Allah  (Cet. 5; Jakarta Timur: AKBAR MEDIA, 2011), h. 90.
[3]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Cet. 14; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 M), h. 14.
[4] Yusuf Syukriy Farh}a>t, Mu’jam al-T}ulla>b ( Beirut : Da>r al-Fikr al-‘Ilmiyah, t.th), h. 10.
[5]Ah}mad Zuhdi> Muh}d}ar. Qamu>s al-‘As}ri> ( Pondok Krapyak : Multi Karya Grafika, 2003), h. 68.
[6] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqala>ni>, Fath}ul al-Ba>ri> bi Syarhu S}ah}i> al-Bukha>ri>, Juz 4, (Beirut: Da>r al-Ma ‘rifatu, t.th.), h. 141.
[7]Atabik Ali Ahmad Zuhdi Muhdlor, KAMUS KONTEMPORER ARAB-INDONESIA, (Cet.9, Yogyakarta; Multi Karya Grafika, 1996), h. 1927.
[8] Abu> al-H}usain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariyya>, Maqa>yis al-Lug}ah, Juz V (t.t.: Ittih}ad al-kita>b al-‘Arab, 2002), h. 361.
[9]Abu> al-H}usain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariyya>, op. cit., h. 85.
[10]Abu> Hila>l al-‘Askari>, al-Furu>q al-Lug}awiyah, Juz I (t.d.), h. 565-566.
                 [11] Abu al-Husain Ahmad bin Faris Ibnu Zakariyyah, Mu ‘jam Maqa>yis Al-Lugah, Juz 3 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979 ), h. 300.
[12] Muhammad bin Mukarram bin Manz}u>r al-Afriki> al-Mis}ri>, Lisan al-‘Arab, Juz 14 (Beirut: Da>r S}a>dir, t.th.), h. 464.
[13] Munjid fi> al-Lugah ( Beirut: Da>r al-Masyriq, 1984), h. 434.
[14] Ibid
                [15]  Ah}mad Zuhdi> Muh}d}ar, op.cit,  h. 1184
[16] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia  (Edisi II, Surabaya:  Pustaka Progressif, 1997), h. 520.
[17] Atabik Ali Ahmad Zuhdi Muhdlor, KAMUS KONTEMPORER ARAB-INDONESIA, (Cet.9, Yogyakarta; Multi Karya Grafika, 1996), h. 985
[18] Daud Athiyah Abduh, Kamus al-Mufradat, Klaten; Wafa Press, 2008, h. 148.
[19] Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah, Jakarta; Ciputat Press, 2007, h. 442.
[20] Ah}mad bin Aly Ibn H{ajar al-‘Asqala>ny, op. cit.
[21] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia  (Edisi II, Surabaya:  Pustaka Progressif, 1997), h. 601.
[22] Ah}mad bin Aly Ibn H{ajar al-‘Asqala>ny, op. cit.
[23] Ah}mad bin Aly Ibn H{ajar al-‘Asqala>ny, op. cit. h.142.
[24] Abu Khalid, Kamus Arab AL-HUDA, Surabaya, Fajar Mulia, 1997
[25] Ah}mad bin Aly Ibn H{ajar al-‘Asqala>ny, op. cit. h. 143.

No comments:

Post a Comment